Love Whisper


By Glorya_Vie

Part 1
 
Brruakkkk!!!

           “Apa-apaan ini??” suara wanita yang memakai jeans dengan jas berwarna biru itu membuatku tersentak kaget.

           “Maaf.. maaf.. gak sengaja,” aku sangat gugup sampai-sampai menabrak seseorang karena kurang berhati-hati.

Ya, ini hari pertama aku menjadi mahasiswi. Beberapa minggu lalu usai kelulusan, aku dan dan teman-teman membicarakan perihal kuliah. Apa yang mereka katakan terekam kuat dalam pikiranku kalau jadi anak kuliahan itu bakal ini lah itu lah. Dan perkataan mereka pun sukses membuatku cemas beberapa hari ini.

            “Sudah.. sini biar aku yang rapikan. Hmm anak baru ya?” tanyanya sambil mengambil beberapa buku yang tergeletak di lantai. Kelihatannya baik, pikirku.

            “I-iya,” kujawab dengan sedikit takut. Ku perhatikan ada yang berbeda dari jasnya. Benar saja, terdapat sebuah garis kuning melingkar disekitar kerahnya yang berarti dia adalah seniorku.

            “Ohh.. Aku Shinta Danuarta, 2 tahun diatasmu. Yasudah, aku duluan.”

Aku hanya bisa menunduk. Ahh kenapa aku begitu kaku? Apa yang salah? Ku lihat punggungnya mulai menjauh dan menghilang melewati koridor. Sudahlah, aku harus bergegas karena jam pertamaku beberapa menit lagi akan dimulai, pikirku.

Voila!! Aku masuk tepat waktu dan untung saja aku tidak mendapat omelan dihari pertama karena itu akan membuat moodku buruk untuk seharian nanti. Ku lihat sekeliling ruangan, tampak ruangan yang cukup besar dengan cat berwarna putih bersih menghiasi dindingnya. Aku mengambil posisi tengah karena aku tidak mau paling depan dan juga belakang. Ada 2 alasan mengapa dari dulu aku tidak suka. Pertama, aku tidak mau di paling depan karena apabila sedang tidak mood dan dosen tiba-tiba mengacungkan jarinya ataupun bertanya ke arahku, aku tidak akan bisa menjawabnya dengan baik. Kedua, kalau posisiku dibelakang aku tidak bisa melihat dengan baik karena nanti sewaktu-waktu aku harus mengganti lensa kacamataku, juga karena proporsi badanku yang tidak terlalu tinggi ataupun dari kondisi ruangannya.

            Suasana yang tadinya ramai mendadak hening saat terdengar derap langkah dari balik pintu. Langkah itu terdengar berat dan cepat. Sepatu kulit itupun memasuki ruangan bercat putih yang terdiri dari puluhan mahasiswa. Tegas, kaku, dan cepat. Mungkin tiga kata itu sudah cukup mendeskripsikan sang dosen. Pak Harun namanya.

            Tangan dan mulutnya selaras mengabsen mahasiswa yang hadir dari atas sampai bawah. Tak satupun yang terlewat.

Mata kuliah terkesan membosankan, tak sedikit dari mereka yang terkantuk-kantuk menghadapi celotehan sang dosen meskipun ini hari pertama.

“Hei nama lo siapa?”, bisik Sabrina.

Ahh Clara Devanya, panggil aja Clara. Ada apa?”. Panggilan Sabrina sukses membuyarkan lamunanku.

“Kenalin, Sabrina Siregar. Panggil aja Rina”. Ramah dan ceria, itu hal yang kupikirkan pertama kali saat melihatnya.

“Em.. Salam kenal Rina”. Ku balas jabatan tangannya dan melemparkan senyuman.

“Oiya, -”. Belum sempat Rina melanjutkan pembicaraannya, Pak Harun berdehem sambil menatap kami intens. Sontak kami terdiam dan kembali menatap ke depan.

Selesai Pak Harun membacakan kontrak pembelajaran dan memaparkan sedikit tentang Filsafat, Rina mengajakku untuk bergegas ke kantin. Tempat itu dipenuhi oleh mahasiswa yang notabenenya adalah mahasiswa semester atas, baik yang mengerjakan tugas maupun sekedar ngopi. Di meja depan nampak gerombolan lelaki yang tengah duduk santai dan ada salah seorang diantara mereka sesekali menghirup rokok. Yang membuatku tertegun adalah lelaki yang memakai kemeja merah maroon sedang asik berkutat dengan laptop di depannya sedangkan ia tak terganggu sama sekali dengan keadaan ramai disekelilingnya.

“Eh ra, kok ngelamun? Mau beli apa?”.

Roti aja deh sama jus alpukat”. Ku lirik lagi lelaki yang tadi namun keberadaannya tak ku temukan. Kemana ia pergi, pikirku.

“Yaudah biar gue aja yang pesen, lo cari tempat deh jangan sampai keduluan yang lain”. Aku pun melenggang meninggalkan Rina dalam antriannya, dan aku bersyukur Rina berbaik hati menyuruhku menunggu karena aku tak suka mengantri terlalu lama.

“Boleh gabung?”, aku tersentak ketika tiba-tiba lelaki tadi berada dihadapanku.

“Iya, silahkan”

“Maaf, disana ribut soalnya

“Waahh baru ditinggal bentar udah dapet cowo aja lo Ra”, Rina datang membawa nampan yang berisikan pesanan kami.

“Apaan si”, jawabku ketus.

“Kalian maba kan?”.

“Iya kak” jawab kami bersamaan.

“Ini ada brosur, siapa tau minat”. Selembar brosur ia letakkan di atas meja.

“Hmm teater?”.

“Kalau mau gabung langsung aja hubungi nomor yang ada disitu. Permisi”. Lelaki itu beranjak dari kursinya.

Ku tatap lamat-lamat kertas itu. Boleh juga, pikirku.

“Astagaaa lo liat gak senyumnya tadi, gini nih yang bisa bikin orang diabetes. Oiya, lo mau gabung Ra?”.

“Lebay deh, gausah gitu juga kali ah. Hmm, ntar deh pikir-pikir dulu”.

“Eh namanya tadi siapa? Lo nanyain gak? Astaga jangan bilang nggak, cowo ganteng gitu ihh”.

“Gue juga lupa nanyain Rin hehe”. Melihatku yang cengengesan Rina bangkit dari duduknya dan menarik tanganku.

“Kemana? Temenin gue ngemall. Buruan!”.

“Yaelah nih anak. Panas-panas gini males ah”.

“Justru itu gue mau ngadem disono. Cepetan elah”.

*********
            Sabrina banyak bicara saat diperjalanan. Dia menceritakan perihal dirinya, keluarganya, sampai tempat makan favoritnya. Sementara aku hanya menjawab sekedarnya saja karena tak mau fokusku teralihkan dari jalanan.

            “Yuk turun. Emang lo mau nyari apaan?”.

            “Oiya gue punya adek namanya Adrian Siregar. Gue mau nyari kado karena dia lusa ulang tahun”.

            “Terus lo mau ngasih apaan?”.

            “Gak tau lah gue bingung kalo cowok. Mungkin jam atau sepatu”.

            “Yaudah langsung aja”.

            Tempat demi tempat sudah kami jelajahi, tak terasa sudah hampir tiga jam kami berkeliling namun kata Rina belum ada barang yang cocok. Kakiku mulai pegal dan Rina merasa resah.

            “Sorry ya Ra, lo pasti capek”.

            “Gapapa kok, rumah juga lagi sepi sekalian jalan-jalan lah”.

            “Tapi lo masih kuat jalan kan?”.

“Iya dong. Ayo cari disebelah sana, kayaknya lebih bagus”.

Kami beralih tempat dan pergi ke toko sepatu lainnya. Di toko itu lebih banyak sepatu-sepatu berkualitas tinggi dan tentunya dengan harga yang lebih mahal.

“Yakin nih? Keknya barang branded semua nih hehe”.

“Cari yang pas sama kantong aja lah, bisa abis uang jajan nanti haha”. Rina meringis.

Sementara Rina sibuk mencari di sebelah kiri, aku melihat-melihat sepatu di sebelah kananku. Aku terdiam kala melihat sebuah sepatu berwarna silver di rak deretan kedua dari atas. Ternyata itu sepatu yang selama ini ku cari-cari. Aku tak bisa menjangkaunya meskipun sudah berjinjit. Oh astaga dimana pelayan tadi, rak ini terlalu tinggi bagiku yang memiliki badan mungil.

“Dasar pendek”, ucap seorang laki-laki. Otomatis aku menoleh untuk melihat siapa laki-laki menyebalkan itu.

“Omongannya mas. Eh tunggu.. Lo kan?”. Aku terkejut saat melihat bahwa laki-laki tadi adalah dia.

“Kok lo lagi sih? Dihh malesin banget”.

            “Siapa juga yang mau ketemu lo lagi”.

########

Part 2  coming soon...... Stay tune yaa ^^

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Quotes-Cerita-

Sinopsis Cerpen I'm So Sorry

For You, Mr. Panda